YOGYAKARTA - Dalam Manhaj Islam Berkemajuan, Al Quran dan Al Sunah menjadi sumber ajaran yang paling utama. Meskipun Al-Quran sepenuhnya adalah bersifat ketuhanan, namun ia sepenuhnya juga menggunakan media bahasa manusia. Al Quran yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah dengan tata bahasa Arab di dalamnya ini tentu mengandung banyak makna di dalamnya. Namun, dari mana datangnya makna al Quran tersebut?
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, terdapat dua mazhab dalam menyikapi hal ini. Pertama, makna Al Quran datang dari Allah (God given meaning). Hal ini berangkat dari anggapan bahwa Al Quran yang diterima Nabi Muhammad merupakan wahyu dari Allah. Kedua, makna Al Quran datang dari penafsir (interpreter given meaning). Hal ini berangkat dari prinsip hermeneutika modern yang menegaskan bahwa teks yang telah selesai disusun pengarangnya menjadi milik para pembaca (penafsir).
Dari dua dilematis ini, Syamsul mencoba melakukan kompromi. Sebagai Guru Besar Teori Hukum Islam, ia menguraikannya melalui paradigma usul fikih. Di dalam konsepsi usul fikih, terdapat tingkatan makna, dari teks yang jelas (al-alfadz al-wadhihah), dan teks yang tidak jelas (al-alfadz ghair al-wadhihah). Baginya, ungkapan-ungkapan dalam Kitab Suci yang mudah dipahami berarti maknanya berasal dari Allah. Sementara ungkapan-ungkapan yang sulit dipahami, membuka peluang para penafsir untuk memberi makna pada kata tersebut.
“Ayat mutasyabihat, itu hanya Allah yang tahu. Misalnya ungkapan Alif Lam Ra. Ada beberapa penafsir ingin memberikan makna pada ayat tersebut. Dari sisi ini bisa dikatakan bahwa makna Al Quran milik pembaca/penafsir,” ucap Syamsul dalam Pengajian Ramadan 1444 H di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Selasa (04/04)
Menurut Syamsul, terdapat empat tingkatan dalam teks yang jelas (al-alfadz al-wadhihah), yaitu: 1) muhkam, yaitu teks yang sudah jelas maksudnya sehingga tidak ada lagi kemungkinan dinasakh dan ditakwil. Misalnya, QS. Al Ikhlas ayat 1-4 tentang Keesaan Allah Swt. 2) mufassar, yaitu teks yang jelas dan rinci dan tidak dapat ditakwil, namun ada kemungkinan dinasakh. Contohnya, ayat-ayat atau hadis yang menyebutkan rincian seperti jumlah/angka: 1, 2, 100, dan lain sebagainya.
3) nash, yaitu teks yang menunjukkan kepada makna yang menjadi maksud primer, namun ada kemungkinan bisa ditakwil; 4) zahir, teks yang menunjuk pada makna sekunder. Misalnya, hadis tentang larangan berbicara bagi jamaah jumat ketika Khatib telah memulai khutbah. Makna sekunder dari hadis tersebut adalah anjuran agar khatib sekaligus menjadi imam.
Sementara itu, teks yang tidak jelas (al-alfadz ghair al-wadhihah) juga terdapat empat tingkatan, yaitu: 1) khafi, yaitu teks yang tidak jelas maknanya karena ada dalil atau petunjuk dari luar, bukan karena faktor shighat lafadz itu sendiri. Misalnya, ungkapan “pencuri” dalam QS. Al Maidah ayat 38, apakah berlaku juga untuk pencopet atau tidak. 2) musykil, yaitu teks yang tidak jelas maknanya lantaran diakibatkan redaksi lafadz itu sendiri. Misalnya, ungkapan “al-quru” dalam QS. Al Baqarah ayat 228, bisa bermakna suci atau haid.
3) mujmal, yaitu teks yang masih umum, samar, dan global. Misalnya, perintah untuk taat kepada Ulil Amri dalam QS. An Nisa ayat 59. Teks tersebut masih samar sebab siapa yang dimaksud dengan Ulil Amri tersebut. Inilah mengapa para mufassir berbeda pendapat. 4) mutasyahibat, yaitu redaksi yang timbul tidak punya makna lain kecuali makna itu sendiri. Misalnya, huruf-huruf yang terpotong dalam awal ayat dan surat seperti Thaha, Nun, dan lain-lain.
Setelah menguraikan tingkatan teks, Syamsul tiba pada kesimpulan bahwa rumpun al-alfadz al-wadhihah merupakan makna yang jelas yang telah diberikan Allah, sementara rumpun al-alfadz ghair al-wadhihah—meskipun hanya Allah yang tahu makna aslinya—para penafsir diberikan peluang untuk memberi makna pada teks-teks tersebut.
Sumber artikel by MUHAMMADIYAH.OR.ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar