SUMBER GAMBAR,BBC/DAVIES SURYA


Pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia (WNI) terhadap jemaah perempuan Lebanon di Mekkah turut menggemakan pengalaman traumatis serupa yang dialami sejumlah jemaah perempuan Indonesia saat menjalankan ibadah haji dan umrah.


WNI bernama Muhammad Said tersebut telah divonis dua tahun penjara oleh otoritas Arab Saudi, yang oleh cendekiawan Islam Lies Marcoes dianggap sebagai langkah yang “cukup baik”.


Namun, banyak korban pelecehan seksual di Tanah Suci disebut tidak pernah mendapat keadilan atas apa yang menimpa mereka.


Salah satu penyebabnya, kejadian pelecehan itu sering kali dianggap "tidak mungkin terjadi karena berada di tempat suci” atau dinilai sebagai “karma atas perbuatan sendiri”.


Lies Marcoes meminta pemerintah Indonesia mengumpulkan data dan fakta yang dapat “membuka mata” soal betapa seriusnya isu ini, dan “tidak boleh menolak realita mengenai ini”.


Konsul Jenderal RI di Jeddah, Eko Hartono, mengatakan jemaah yang mengalami pelecehan "dapat melapor ke aparat setempat".


Ingatan Bella terpantik kembali ke tahun 2013 silam ketika dia dilecehkan oleh seorang jemaah laki-laki usai salat di Masjidil Haram, Mekkah.


Perempuan berusia 30 tahun itu mengaku geram membaca sebuah cuitan pembelaan dari akun yang mengaku sebagai keluarga dari Muhammad Said.


Dia mencuit: “Logikanya jika beliau ingin melakukan hal itu, kenapa harus ke Tanah Suci sedangkan kami tahu di sana tempat beribadah”.



“Kalau ada yang bilang ‘ngapain juga di Tanah Suci melakukan pelecehan?', menurut saya pendapat itu nggak valid. Saya sendiri buktinya waktu di sana mengalami pelecehan,” kata Bella kepada BBC News Indonesia.


Bella bukan satu-satunya. Anggi, bukan nama sebenarnya, bahkan mengaku trauma kembali ke Tanah Suci karena mengalami tiga kali pelecehan ketika beribadah haji pada 2004 silam.


Sejumlah warganet pun turut membagikan pengalaman kelam mereka mengalami pelecehan seksual di Mekkah.



Namun dari munculnya pengakuan-pengakuan itu, Lies mengatakan belum ada yang bisa memastikan seberapa darurat sebenarnya pelecehan yang menimpa jemaah-jemaah perempuan.


Oleh sebab itu, dia mendesak pemerintah mengumpulkan fakta soal kasus dan pengalaman jemaah perempuan mengalami pelecehan seksual, sebagai acuan menyusun kebijakan yang tepat.


Pada 2018 lalu, tagar #MosqueMeToo menggemakan pelecehan seksual yang menimpa jemaah perempuan dari berbagai negara saat menunaikan ibadah haji di Mekkah. Seorang perempuan asal Indonesia pun turut membagikan pengalaman buruknya terkait itu.


Namun sejak saat itu, Lies menilai tidak banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi itu, terutama dari dalam negeri.


Sementara itu, Konsul Jenderal RI di Jeddah Eko Hartono mengakui bahwa mereka tidak memiliki data yang akurat soal pelecehan seksual yang terjadi sepanjang penyelenggaraan haji dan umrah.


"Data yang akurat memang sulit kita punya karena seringkali tidak ada laporan. Pihak wanita biasanya enggan atau takut melapor," kata Eko melalui pesan singkat.


Dianggap ganjaran atas perbuatan sendiri


Bella baru saja selesai salat di Masjidil Haram bersama ibunya ketika dia harus melalui kerumunan jemaah pada 2013 lalu.


“Di situ pasti ada kondisi di mana kita mau nggak mau berhimpit-himpitan sama orang. Tapi waktu itu saya berpikir nggak mungkin dong di Tanah Suci ada yang aneh-aneh,” kata Bella.


“Waktu itu saya juga sama keluarga saya, ditambah lagi di sana pakai abaya kan. Makanya waktu jalan itu saya kaget kok ada yang meremas bokong saya dan itu bukan sekadar kesenggol."


Bella sempat terdiam, mencoba memproses apa yang baru dia alami. Sampai akhirnya dia berani bereaksi.


“Saya melihat ke belakang dan melotot ke orang itu, dan dia [pelaku] malah senyum, ketawa seolah-olah dia bangga melakukan itu,” tutur Bella yang mengaku sampai saat ini masih mengingat jelas wajah orang yang melecehkannya.


Tetapi pada saat itu, Bella tidak menceritakan kejadian itu kepada siapapun karena khawatir apa yang dialaminya dianggap sebagai “ganjaran” atas apa yang dia perbuat.


“Karena waktu itu saya merasa kalau cerita atau lapor dilecehkan di Tanah Suci, malah dianggap ganjaran dan dituding ‘kamu buat dosa kali di Indonesia sampai kamu digituin sama orang’ atau keyakinan-keyakinan seperti itu,” tutur dia.


Trauma kembali ke Tanah Suci


SUMBER GAMBAR,BBC/DAVIES SURYA


Setelah mengalami tiga kali pelecehan saat beribadah haji di Mekkah pada 2004, Anggi mengaku trauma kembali ke Tanah Suci.


“Bahkan kalau pun ada pernyataan bahwa sudah ada perbaikan segala macam, tetap nggak ada keinginan [untuk kembali]. Memori buruk itu yang lebih kuat,” kata Anggi.


Salah satunya terjadi ketika seorang laki-laki meraba payudaranya di depan Ka’bah saat dirinya sedang tawaf (kegiatan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali).


"Waktu itu saya pikir, bisa-bisanya dia melakukan itu. Tepat depan Ka'bah! Saat melakukan tawaf! Benar-benar penistaan," tutur Anggi.


Tetapi Anggi tidak menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya. Dia juga tidak tahu kemana harus melaporkan pelecehan yang dia alami.


Sama seperti Bella, Anggi sempat khawatir bahwa pelecehan yang dia alami adalah “balasan atas apa yang dilakukan”.


Begitu kembali dan menceritakan pengalaman ini, Anggi pun mengaku mendapat cerita dari perempuan-perempuan lain yang mengalami pelecehan saat ibadah haji atau umrah.


“Itu bukan pengalaman yang jarang terjadi, banyak perempuan yang sebenarnya mengalami itu. Pemerintah harus mengakui bahwa ini masalah laten, hanya karena tidak ada yang melapor bukan berarti itu tidak terjadi,” ujar Anggi.


Beragam cerita soal pengalaman dilecehkan itu pula yang membuat Wita Adelina, 30, merasa was was ketika menjalani ibadah umrah pada 2019.


Banyak hal yang diwanti-wanti oleh pemandu dari agen perjalanannya, khususnya kepada para jemaah perempuan.


Misalnya bahwa jemaah perempuan harus selalu didampingi oleh mahramnya setiap bepergian. Atau ketika hendak naik taksi, “pastikan laki-laki naik lebih dulu dari perempuan”.


“Entah itu semua valid atau enggak tapi yang jelas ada banyak wanti-wantinya, dan karena banyaknya wanti-wanti itu, jujur jadi parno dan saya mencegah bepergian sendirian,” kata Wita.


Bahkan ketika tawaf, yang selalu padat dan berdesak-desakan, mereka membuat semacam barikade dari sesama rombongan keberangkatan yang sama untuk menghindari terjadinya pelecehan.

'Perempuan berhak berdesakan dan bebas dari pelecehan'


Sebagai negara pengirim jemaah haji terbesar di dunia, Lies Marcoes mengatakan ada potensi besar banyak jemaah-jemaah asal Indonesia mengalami pelecehan.


Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah Indonesia mengumpulkan data dan fakta yang dapat “membuka mata” soal betapa seriusnya isu ini, dan “tidak boleh menolak realita mengenai ini”.


"Langkah pertama adalah harus ada data pembuka mata seperti apa. Susun data bahwa terjadi pelecehan seksual di asrama, perjalanan yang berdesakan, dan lain-lain. Harus punya data dulu," kata Lies.


Data yang ada, kata dia, bisa menjadi basis pemerintah untuk menyusun standar operasional prosedur yang tepat sasaran maupun mendorong upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan pemerintah Arab Saudi.


“Kan repot kalau kita tidak punya data yang bisa diandalkan untuk meminta MoU atau apa pun. Kembali ke datanya dulu dan jangan anekdotal yang berbasis katanya, lalu baru ramai ketika ada persidangan seperti saat ini,” kata Lies.


Prosedur yang dibentuk, bisa berupa menyediakan saluran pengaduan yang dapat melindungi dan berpihak pada korban.


Selain itu, membekali para pemandu haji dan umrah dengan kemampuan menangani dan menghadapi laporan pelecehan seksual dari jemaah haji.


“Jangan dianggap itu sebagai problem personal. Jadi harus ada pengaduan itu lalu harus jelas bagaimana penanganannya kalau itu terjadi di Saudi,” kata dia.


Namun Lies mengatakan salah satu kendala penanganan pelecehan seksual selama ini adalah anggapan bahwa pelecehan seksual “terjadi sebagai ujian atau karma bagi korban”. Stigma ini, kata dia, tak boleh dilanggengkan lagi.


Selain itu, SOP yang dibentuk juga tidak boleh meminggirkan perempuan dari hak-haknya untuk mendapatkan akses beribadah dan menjalankan ritual agama yang setara.


“Ini juga dalam hal kekerasan seksual jangan lalu ada satu ruang permakluman ‘oh itu karma buat perempuan itu mengalami pelecehan seksual’. Jangan masuk ke 'jebakan batman' itu."


"Perempuan berhak berdesakan, berhak bebas dari pelecehan seksual. Itu hanya bisa diupayakan dari pihak penyelenggara pelaksanaan haji, dalam hal ini Kementerian Agama,” jelas Lies.


BBC News Indonesia telah menghubungi Kementerian Agama terkait kasus ini. Namun kewenangan untuk menjawab mereka alihkan kepada Konsulat Jenderal RI di Jeddah.


Sedangkan Konsul Jenderal RI di Jeddah, Eko Hartono, mengatakan jemaah yang mengalami pelecehan "dapat melapor ke aparat setempat".


Laporan pelecehan seksual, kata Eko, akan ditangani sebagaimana delik aduan pada umumnya dan KJRI Jeddah berjanji akan memberi bantuan hukum serta pendampingan dalam hal ini.


Sumber : BBC.com

Pewarta : Ayahdidien