Benarkah Ada Kesalah Pahaman Pasal Zina dan 'Kumpul Kebo' di KUHP - ATA RAKYAT

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Kamis, 15 Desember 2022

Benarkah Ada Kesalah Pahaman Pasal Zina dan 'Kumpul Kebo' di KUHP

Tanda peringatan yang dipasang oleh penduduk desa di sebuah pantai di Banda Aceh 12 Desember 2012, sebagai ilustrasi. Terdapat sejumlah pasal dalam KUHP baru yang terus menjadi kontroversi, antara lain zina dan kumpul kebo. (Foto: Reuters/Damir Sagolj)


ATA RAKYAT | HUKUM 'KUHP' - Ada sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang terus menjadi kontroversi, antara lain zina dan kohabitasi atau dalam istilah lokal disebut 'kumpul kebo'. Padahal, pasal ini adalah delik aduan yang tidak akan menjadi perkara hukum jika tidak dilaporkan pihak yang berhak.


Banyak pihak khawatir, pasal perzinahan dan kohabitasi menyeret dengan mudah banyak orang ke penjara. Turis asing hingga sektor perhotelan diklaim berada dalam ancaman cukup besar. Sejumlah duta besar, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut berkomentar terkait

 hal ini.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Syarif Nurhidayat, menyebut seharusnya tidak perlu muncul kekhawatiran berlebihan terkait pasal ini. Ia berpendapat pemerintah dan DPR merumuskan kedua pasal tersebut sebagai sebuah kompromi atau jalan tengah bagi kondisi Indonesia dan posisinya dalam masyarakat global. Bentuknya, dengan menetapkan perbuatan zina dan 'kumpul kebo' sebagai delik aduan absolut.


"Indonesia negara dengan kultur yang sangat ketimuran dan religius, sehingga keberadaan norma itu menurut saya normal, harus diatur terkait dengan perzinahan dan kohabitasi," ujarnya ketika dihubungi VOA, Rabu (14/12).


Seorang aktivis dalam protes setelah DPR menyetujui undang-undang pidana baru yang akan melarang seks di luar nikah, kumpul kebo antara pasangan yang belum menikah, menghina presiden, dan mengungkapkan pandangan yang bertentangan dengan ideologi nasional.


"Cuma, karena kita berada di dalam ruang masyarakat global yang secara perspektif kacamatanya sangat plural, maka ini menjadi tantangan. Akhirnya kan keberadaan pasal kohabitasi dan perzinahan itu kan perlu dikompromikan," tambahnya.


Dua kepentingan itu, yaitu akomodasi terhadap ideologi dan kepentingan sosial masyarakat Indonesia di satu sisi dan perspektif universal di sisi lain, harus dicari jalan tengahnya. Secara universal, ada pandangan bahwa hak asasi manusia bersifat liberal sehingga hal-hal terkait perzinahan dan kohabitasi adalah hak personal, dan tidak perlu diintervensi negara. Sementara dalam situasi masyarakat Indonesia, dua tindakan itu terkait dengan norma yang harus dipertahankan dan diatur.


Seorang petugas agama mencambuk seorang pemuda Aceh di atas panggung sebagai hukuman karena berkencan di luar nikah, yang bertentangan dengan Syariah, atau hukum Islam, di luar sebuah masjid di Banda Aceh, 1 Agustus 2016. (Foto: AFP)


"Maka, diaturlah kemudian dengan bentuk aduan absolut. Nah ini, kalau bagi teman-teman aktivis religi, ini masalah. Karena mestinya bukan aduan absolut, mestinya delik biasa. Tetapi, bagi teman-teman yang cara berpikirnya 'liberal', akan mengatakan ini juga permasalahan," jelas Syarif.


Kelompok religi mempermasalahkan pasal ini karena pemerintah dianggap tidak tegas dalam menghadapi masalah zina dan kumpul kebo. Sementara kelompok yang lebih liberal mengkritik pasal ini karena pemerintah dinilai telah mengkriminalisasi persoalan pribadi.


Aduan absolut menjadi jalan tengah, karena perzinahan atau kohabitasi hanya bisa diadukan oleh pihak yang berhak, misalnya suami atau istri dalam perkawinan atau anak dan orang tua jika pelaku tidak dalam perkawinan.


Wisatawan di Bali. (KEMENPAREKRAF)
Menparekraf Sanggah Isu KUHP Persulit Turis Asing

Jalan tengah ini dampaknya juga luas. Syarif menjelaskan, karena menjadi delik aduan absolut, pemerintah daerah tidak boleh membuat peraturan daerah (perda) yang membuka ruang adanya razia praktik perzinahan atau kohabitasi karena Itu bukan lagi wilayah delik biasa. Demikian juga, organisasi-organisasi keagamaan tidak bisa melakukan operasi di hotel atau penginapan, dengan alasan memberantas zina, jika tidak ada aduan dari mereka yang berhak.


"Memang tidak mudah, kita bikin norma yang mengakomodir semua kepentingan masyarakat yang ada. Ketika masyarakat kita sendiri sangat beragam, ada yang sangat religius, ada yang nasionalis, bahkan mungkin tanpa kita sadari sudah cukup banyak yang punya pemikiran cukup liberal," tambah Syarif.


Karena itulah, keberadaan norma yang mengatur keseluruhan hidup masyarakat seperti KUHP ini, harus penuh perhitungan, detail dan kompromistis.


Seorang aktivis meneriakkan slogan-slogan saat protes pengesahan KUHP yang melarang seks di luar nikah, kumpul kebo di antara pasangan yang belum menikah, menghina presiden, dan mengungkapkan pandangan yang bertentangan dengan ideologi nasional, di luar gedung DPR di Jakarta, Desember 5 Tahun 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)


Delik Aduan Absolut


Secara detil, Budi Suhariyanto, peneliti Pusat Riset Hukum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memaparkan tentang delik aduan absolut dalam diskusi pro-kontra KUHP yang diselenggarakan BRIN, Selasa (13/12).


Delik aduan absolut, yaitu yang bisa menuntut itu adalah pihak suami atau istri yang dirugikan atau dipermalukan, bagi yang memiliki ikatan perkawinan, dan dari orang tua atau anaknya, bagi yang tidak memiliki ikatan perkawinan," kata Budi.


Artinya, sebenarnya tidak ada perubahan fundamental dalam soal persetubuhan di luar pernikahan, antara KUHP lama dan baru. Sebagaimana Syarif, Budi menilai pemerintah dan DPR mencari jalan tengah, antara budaya lokal dan prinsip yang berkembang di masyarakat.

Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM, menerima laporan KUHP baru dari Bambang Wuryanto, dalam rapat paripurna parlemen di Jakarta, 6 Desember 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Disorot Dunia Internasional, Wamenkumham Tegaskan KUHP Disusun Dengan Cermat dan Hati-hati


"Ini memang, katakanlah tidak terlalu ke kanan, dalam perspektif keagamaan, tetapi kemudian juga tidak terlalu ke kiri, yang bersifat misalnya liberal, yang hanya melihat sebagai privasi dan negara tidak mencampuri. Tetapi kemudian, ini dicari jalan tengahnya," tambah Budi.


Perzinahan dalam KUHP diatur dalam pasal Pasal 411, yang berbunyi setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.


Ketetapan serupa juga terdapat pada pasal 412 yang mengatur soal kumpul kebo atau kohabitasi. Bunyinya adalah: setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.


Menurut Budi, kumpul kebo sebelumnya belum diatur dan baru ada pada KUHP baru ini. Kehadirannya adalah untuk menyerap realitas sosial, budaya dan keagamaan yang ada di masyarakat Indonesia.


Bambang Wuryanto, Ketua Komisi Pembina RUU DPR, menyerahkan laporan KUHP baru itu kepada Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR, dalam rapat paripurna DPR di Jakarta, 6 Desember 2022. (Foto: REUTERS /Willy Kurniawan)


"Jadi yang yang selama ini mungkin ketika kita di kampung, menggolongkan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan itu sebagai suatu hal yang katakanlah tidak tepat atau tercela. Nah kemudian, dalam KUHP baru ini coba mengkriminalisasi," paparnya.


Di sejumlah masyarakat hukum adat, ketentuan semacam ini sebenarnya telah ada. Budi memberi contoh, di Bali ada yang disebut lokika sanggraha. Ia mengatakan ketentuan soal larangan hidup bersama tanpa perkawinan ini, bahkan beberapa kali menjadi dasar pengambilan keputusan oleh pengadilan setempat. Budi sendiri sebelumnya pernah melakukan penelitian terkait hal tersebut.


KUHP menetapkan perzinahan dan kumpul kebo sebagai delik aduan absolut, melalui ketentuan yang mengiringi pasal-pasal di atas. Bunyi ketentuan itu adalah: terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Pengaduan juga dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.


Wisatawan di Bali. Masyarakat adat Bali menerapkan 'Lokika Sanggraha', sebuah delik adat kesusilaan yang termaktub dalam Kitab Adhigama. (Foto: Courtesy/Kemenparekraf)


Lokika Sanggraha di Bali


Lokika Sanggraha yang dicontohkan Budi di atas, memang berlaku di masyarakat adat Bali. Dalam disertasi program doktor di Universitas Jembrana, dosen Universitas Dwijendra, Ni Made Liana Dewi membahas persoalan ini.


Lokika Sanggraha, papar Dewi, adalah delik adat kesusilaan di masyarakat adat Bali yang termaktub dalam Kitab Adhigama. Lokika Sanggraha adalah hubungan percintaan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, di mana keduanya belum terikat suatu perkawinan yang sah, menurut hukum nasional maupun hukum adat.


Dewi memaparkan perempuan berada dalam posisi yang lemah dalam kasus Lokika Sanggraha lemah. Perempuan juga menjadi pihak yang menanggung penderitaan. Jika terjadi kehamilan, bisa saja pihak laki-laki yang awalnya berjanji menikahi perempuan itu kemudian ingkar, dan meninggalkanmya tanpa alasan. Dalam sejumlah kasus di mana ingkar janji ini masuk ke pengadilan negara, keputusan hakim dinilai tidak adil bagi perempuan karena hukuman yang diberikan sangat ringan.


Kedaulatan Negara


Menkum HAM Yasonna Hamonangan Laoly dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)


Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Selasa (13/12), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Hamonangan Laoly juga menyinggung persoalan tersebut.


"Ini adalah kedaulatan negara, hukum kita. Orang lain tidak boleh memaksakan sistem nilai mereka dalam hukum kita. Soal liberalisme seksual, saya katakan kita punya hukum adat. Kita mempunyai nilai-nilai agama, kita punya ini," tegas Yasonna.


Tapi kita juga membuka ruang, kepada orang-orang yang punya values yang berbeda, kita buat aturan bahwa ya memang dia delik aduan saja,” tambahnya.



Sumber: VOA Indonesia

Foto: VOA Indonesia

Publish/Editor: Ayahdidien 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here