Bagi umat Islam, yang disasar dengan tembakan moderasi atau deradikalisasi, aturannya sudah jelas. Merusak, mengancam, menteror baik kepada umat lain ataupun umat sendiri jelas tidak dibolehkan. Apalagi membunuh dan menganiaya. Islam itu dimaknai sebagai jalan keselamatan menuju perdamaian.
Bahwa ada sikap tegas dalam relasi dengan umat lain tentu lazim. Dan itu dalam konteks penghormatan pada masing-masing keyakinan. Jika ada sebutan "kafir" kepada yang lain itupun suatu hal yang wajar saja. Seperti umat lain juga yang tentu "mengkafirkan" umat Islam. Kelompok atau rezim anti Islam sering mengeksploitasi hal ini. Hasilnya bukan toleransi tetapi sinkretisme atau pengaburan nilai-nilai agama.
Qur'an Surat Al Kaafiruun mengatur toleransi itu melalui ayat "lakum dienukum waliya dien"--Bagimu agamamu, bagiku agamaku (Ayat 6). Ayat awal adalah penjelasan elementer "laa a'budu maa ta'buduun"--aku tidak menyembah apa yang kau sembah (Ayat 2) dan "walaa antum abiduuna maa a'bud--dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah (Ayat 3).
Surah Al Kaafiruun ini sering dibaca Nabi untuk shalat sunat. Bahkan disunnahkan. Misalnya saat usai thawaf "wattakhidzuu min maqoomi ibroohima musholla" (dan jadikanlah maqom Ibrahim ini tempat shalat). Lalu shalat 2 rakaat dimana rakaat pertama membaca surat al Kaafiruun. Ibrahim itu berbeda agama dengan ayah dan rajanya. Juga dengan kaumnya.
Rakaat kedua membaca Qur'an Surat Al Ikhlas yang substansinya adalah ajaran tauhid "qul huwallahu ahad"--katakanlah Allah itu Esa. Jika ada sebutan Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan "lam yalid walam yuulad" itu adalah keyakinan Islam. Naif jika ada yang harus tersinggung dan menganggap tidak toleran.
Definisi radikalisme, intoleransi, moderasi dan kini politik identitas sangat tidak jelas. Itu terma politik bukan hukum. Semata tafsir politik untuk "menggebuk" dan "melumpuhkan".
Negara yang selalu meneriakannya adalah negara kekuasaan bukan negara hukum.
Dua surat pendek dari Al Qur'an yaitu " Al Kaafiruun" dan "Al Ikhlas" cukup sebagai dasar bagi seorang muslim untuk memaknai identitas diri dalam beragama. Ada konsepsi ketuhanan dan relasi kemanusiaan.
Jadi buat apa ribut soal moderasi ?
Kementerian Agama harus menjadi penjaga agama bukan perusak agama. Kementerian Pendidikan harus membuat bangsa semakin terdidik bukan menjadi pemantik dari kesemrawutan politik.
*) Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 12 November 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar