Hari Ini dalam Sejarah: Geger Pecinan 9 Oktober 1740, Pembunuhan Massal Etnis Tionghoa di Batavia oleh VOC, 10.000 Orang Tewas - ATA RAKYAT

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 10 Oktober 2022

Hari Ini dalam Sejarah: Geger Pecinan 9 Oktober 1740, Pembunuhan Massal Etnis Tionghoa di Batavia oleh VOC, 10.000 Orang Tewas


Jakarta, ATA RAKYAT  | Hari ini, 282 tahun yang lalu, tepatnya 9 Oktober 1740 pembunuhan massal etnis Tionghoa atau Geger Pecinan dimulai di Batavia atau Jakarta saat ini.


Diperkirakan sekitar 10.000 orang Tionghoa dibunuh dalam insiden ini.


Latar belakang Geger Pecinan


Menjelang pertengahan abad ke-18, terjadi peperangan besar-besaran antara etnis Tionghoa dengan VOC di Batavia (kini Jakarta).


VOC atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie adalah perusahan Belandan Hindia Timur. VOC sendiri dibentuk oleh pemerintah pada awal abad ke-17.


Perusahan dagang ini dibentuk untuk melindungi perdagangan Belanda hingga membantu perang melawan spanyol.


Perang antara etnis Tionghoa dengan VOC berlangsung dari bulan Oktober hingga November 1740 ini kemudian dikenal dengan sebutan Geger Pacinan atau Tragedi Angke.


Dalam peristiwa ini, diperkirakan lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa menjadi korban pembantaian di bawah restu Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.


Apa yang menyebabkan munculnya Tragedi Angke atau Geger Pecinan 1740?


Krisis ekonomi di Batavia


Latar belakang peristiwa Geger Pacinan diawali oleh krisis ekonomi dan politik yang menimpa koloni VOC di Batavia pada akhir abad ke-17.


Batavia, yang kala itu menjadi pusat imperium perdagangan VOC, banyak dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara, termasuk pedagang Cina.


Pada 1690, VOC mulai meningkatkan kuota bagi imigran Tionghoa yang datang untuk menguatkan ekonominya. Lambat-laun, imigran Tionghoa yang resmi dan ilegal justru dijadikan objek pemerasan VOC.


Tercatat pada 1696, VOC menerapkan pajak 15 ringgit untuk setiap orang Tionghoa yang datang. Kebijakan ini dirasa berat, karena sebelum kedatangan VOC, para imigran dapat berniaga bebas dengan penduduk Nusantara.


Akhirnya, VOC mau mengendurkan aturan imigrasi bagi orang Tionghoa dan menaikkan kuotanya. Pada 1719, catatan resmi VOC mengungkap bahwa telah ada 7.550 pemukim Tionghoa di Batavia. Jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 35 persen dari keseluruhan penduduk Batavia saat itu.


Selain itu, muncul persaingan komoditas kopi dengan EIC, kongsi dagang Inggris yang berpusat di India.


Untuk mengisi kas VOC, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan kebijakan di mana para imigran Tionghoa diwajibkan memiliki permissie brief, yang dapat ditebus dengan biaya dua ringgit.


Dalam sensus VOC tahun 1739, tercatat ada 10.574 pemukim Tionghoa di Batavia.


Namun, angka sebenarnya diyakini lebih tinggi, mengingat banyaknya imigran gelap yang bermukim di dalam kota ataupun di sekitar Tangerang-Bekasi.


Saat situasi ekonomi di Batavia semakin buruk karena surutnya pamor bisnis gula sebagai komoditas ekspor, VOC mulai merazia etnis Tionghoa secara besar-besaran.


Pada Februari 1740, sekitar 100 orang Tionghoa di Tanjung Priok dan Bekasi ditahan oleh VOC.


Pembuangan ke Sri Lanka


Razia yang dilakukan VOC membuat orang-orang Tionghoa resah dan mulai mempersenjatai diri. Terlebih lagi, saat itu ancaman wabah penyakit tengah menghantui Batavia.


Hubungan antara VOC dan etnis Tionghoa menjadi semakin buruk saat sekelompok orang Tionghoa mencoba membebaskan tahanan dari penjara. Pada Juli 1740, razia kembali dilakukan.


Namun, kali ini ditujukan kepada orang Tionghoa yang dipandang mencurigakan dan membahayakan keamanan publik.


Selain itu, orang Tionghoa yang menganggur akan segera dibuang ke Sri Lanka, koloni VOC yang dijadikan tempat pembuangan.


Bahkan bangsawan Nusantara seperti Pangeran Mangkunegara dari Surakarta juga dibuang ke tempat tersebut.


Akibat tindakan sewenang-wenang VOC, penduduk Tionghoa semakin resah dan berani melawan.


Pada September 1740, lebih dari 1.000 orang Tionghoa bergerombol di Pabrik Gula Gandaria (kini kawasan Jakarta Selatan).


Nama tokoh Cina yang melawan VOC di Batavia adalah Kapitan Sepanjang alias Tay Wan Soey.


Orang Tionghoa dilucuti haknya


Akibat gerakan dari etnis Tionghoa tersebut, kondisi keamanan di Batavia dianggap gawat darurat.


Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan Gustaaf Baron van Imhoff sempat menemui Kapitan Sepanjang untuk berunding, tetapi ditolak.


Malahan, pada 7 Oktober 1740, etnis Tionghoa berani menyerang pos-pos VOC di berbagai titik hingga menewaskan 16 serdadu Belanda.


Keesokan paginya, VOC langsung memberlakukan jam malam, melarang penggunaan lampu, serta melucuti senjata yang dimiliki etnis Tionghoa.


Apabila menolak atau melawan, maka VOC akan langsung menembak mati orang-orang Tionghoa yang membangkang.


Serangkaian peristiwa itulah yang pada akhirnya memicu kekacauan hingga pembantaian etnis Tionghoa, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Geger Pacinan 1740.


Pembantain etnis Tionghoa


Pembantaian etnis Tionghoa dimulai pada 9 Oktober 1740.


VOC mulai menangkapi orang-orang Tionghoa di Batavia. Kepanikan pun melanda saat muncul desas-desus bahwa orang yang ditangkap akan dibuang di laut.


Karena gagal menguasai keadaan, VOC lantas menggeledah kediaman Tionghoa untuk mencari senjata dan menjarah harta-bendanya.


Setelah itu, rumah-rumah mereka dibakar.


Saat itu juga, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memerintahkan untuk membantai orang Tionghoa tanpa pandang bulu.


Tidak hanya orang Eropa, aksi pembantaian juga dilakukan oleh para budak dan pendatang dari Timur Tengah.


Mereka dipaksa ikut menyerang dengan ancaman keselamatan nyawa.


Puncak pembantaian terjadi pada 10 Oktober 1740, saat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memerintahkan semua etnis Tionghoa yang tersisa untuk diseret dari rumah-rumah atau bahkan rumah sakit, untuk dibantai di lapangan depan Museum Fatahillah.


Diperkirakan sekurangnya 7.000 sampai 10.000 orang menjadi korban ketika VOC melakukan sweeping terhadap orang Cina selama dua hari tersebut.


Pembantaian ini disebut juga sebagai Tragedi Sungai Merah.


Nama ini merujuk ke kejadian di mana mayat ribuan orang Tionghoa yang dibunuh ini dibuang di Kali Angke. Kali Angke menjadi merah karena darah saat itu.


Buku berjudul Batavia Kota Banjir (2009) karya Alwi Shahab misalnya menceritakan kasus pembantaian besar–besaran kaum etnis Tionghoa oleh pemerintahan kolonial Belanda di masa lalu.


Alwi menulis, Angke dalam bahasa bahasa Mandarin artinya merah. Jadi, Kali Angke berarti Kali Merah.


 Etnis Tionghoa melarikan diri

Pada saat bersamaan, sekitar 5.000 orang Tionghoa menyerbu pertahanan VOC di kawasan Jatinegara hingga banyak korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak.


Kapitan Sepanjang pun berusaha menuntut balas dengan menyerbu Batavia, tetapi kalah persenjataan dan perlengkapan.


Hingga November 1740, pertempuran kecil masih terjadi di sejumlah wilayah.


Sisa-sisa orang Tionghoa yang masih hidup kemudian menyelamatkan diri ke Kampung Melayu, Pulogadung, Tanjung Priok, dan Sukapura, untuk selanjutnya berkonsolidasi dengan pasukan pemberontak di daerah Bekasi dan Karawang.


Saat VOC mengirim pasukan di bawah komando Abraham Roos untuk mengejar, Kapitan Sepanjang dan pasukan Tionghoa akhirnya memilih menyingkir ke wilayah Kerajaan Mataram.


Pada akhir 1740, para pelarian ini tiba di Lasem, Rembang, dan ditolong oleh priyayi setempat.


Wilayah Lasem sendiri telah menjadi hunian masyarakat Tionghoa sejak jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.


Geger Pacinan mengakibatkan efek domino dan menimbulkan goncangan konstelasi politik Jawa secara masif.


Sebab peristiwa di Batavia menjadi memicu meluasnya perlawanan etnis Tionghoa terhadap VOC di Semarang dan Rembang, atau disebut Perang Kuning, yang berlangsung hingga 1743.


Bagi Belanda, Geger Pacinan menyebabkan produksi gula di Batavia menurun drastis.


Sebab, banyak etnis Tionghoa yang dulunya bekerja sebagai buruh di industri tersebut menjadi korban.


Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier pada akhirnya diadili oleh Belanda setelah dilaporkan oleh Gustaaf Baron van Imhoff sebagai biang keributan peristiwa Geger Pacinan.


Selain itu, Valckenier juga dituduh melakukan serangkaian kesalahan yang membuat VOC mengalami kerugian.


Kendati demikian, rezim kolonial Belanda tetap meneruskan semangat anti-Tionghoa, dengan memisahkan mereka dari masyarakat pribumi Jawa.


Alhasil, lahirlah kebijakan kampung sentra etnis, di mana etnis Tionghoa diatur untuk tinggal di daerah tertentu, hingga muncul kampung pecinan dan kampung pekojan.


Langkah ini dilakukan sebagai upaya mengendalikan aktivitas ekonomi etnis Tionghoa agar tidak dapat berkembang menandingi VOC.


Kebijakan pemerintah kolonial saat itu seolah menempatkan etnis Tionghoa sebagai pihak yang paling diintimidasi.


Oleh karena itu, Geger Pacinan dapat disebut sebagai akar kekerasan massal terhadap orang Tionghoa yang pada akhirnya terus menjadi isu sensitif dalam politik Indonesia hingga saat ini.


(Kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here